TARIKH TASYRI' PADA MASA IMAM MADZHAB

BAB I
I.I PENDAHULUAN
Masa Ulama’
Periode ini berlangsung kurang lebih dua ratus lima puluh tahun lamanya, dimulai pada bagian kedua abad VII sampai dengan abad X Masehi. Pembinaan dan pengembangan hokum Islam di lakukan dimasa pemerintahan Khalifah Umayyah (662-750) dan Khalifah Abbasiyah (750-1258). Dan oleh karena itu pula dalam kepustakaan sering dikatakan bahwa hukum fikih Islam berkembang dimasa umayyah dan berbuah di zaman Abbasiah (Hazairinn, 1955).
Hukum fiqih islam sebagai salah satu aspek kebudayaan islam mencapai puncak perkembangannya di zaman kholifah abbasiyah yang memerintah selama lebih kurang 500 tahun. Di masa inilah (1) lahir para ahli hokum islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis hokum fiqih islam serta (2) muncul berbagai teori hukum yang masih dianut dan dipergunakan oleh umat islam sampai sekarang. Gerakan ijtihad yakni gerakan untuk mempergunakan seluruh kemampuan pikiran dalam memahami ketentuan hokum islam yang tercantum di dalam ayat-ayat hokum dalam Al Qur’an dan sunnah nabi Muhammad dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang mengatur segala bidang hidup dan kehidupan manusia oleh orang-orang yang memenuhi syarat, dilakukan dimana-mana. Orang yang melakukan usaha yang demikian disebut mujtahid, yakni orang yang berijtihad.
Menurut kualitas dan hasil karyanya para mujtahid itu dapat diklasifikasikan menjadi:
(1) Mujtahid Mutlaq, yaitu para ulama’ (jama’ dari alim=orang yang berilmu) yang pertama kali mengusahakan terbentuknya hukum fiqih islam berdasarkan ijtihad mereka tentang ayat-ayat hukum dalam al Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad. Para mujtahid mutlaq ini seperti Abu Hanifah, Malik bin Annas, As-Syafi’i, Ahmad bin Hambal dengan pengetahuannya yang sangat luas mampu menetapkan garis-garis hukum melalui ijtihadnya. Untuk mazhab syafi’i.
Contoh mujtahid mutlaqnya adalah As-Syaf’i sendiri dengan bukunya antara lain Al-Umm (induk), Al-Risalah(Pengantar Dasar-dasar Hukum Islam).
(2) Mujtahid Mazhab, adalah orang yang meneruskan dasar-dasar ajaran yang telah diberikan oleh mujtahid mutlaq. Dengan usaha mujtahid mazhab garis-garis hkum menjadi lebih jelas untuk diterapkan pada suatu masalah tertentu, walaupun ia belum dapat memecahkan setiap persoalan yang tumbuh dalam masyarakat. Dengan ilmunya yang luas para mujtahid mazhab dapat menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh mujtahid mutlaq.
Contohnya adalah Al-Ghozali dengan kitabnya Al-Basith (Ringkasan dari karya syafi’i dalam buku-bukunya yang dianggap sebagai qoul jaddid (pendapat baru)).
(3) Mujtahid fatwa, yaitu orang yang melanjutkan pekerjaan mujtahid mazhab untuk menentukan hukum suatu masalah melalui fatwa atau nasehatnya. Dengan ilmunya yang cukup ia membandingkan pendapat mujtahid madzhab dan menguatkan salah satu diantaranya atau membuat ketetapan baru yang dapat langsung dipergunakan memecahkan suatu masalah yang timbul dalam masyarakat.
Contoh dapat dikemukakan An-Nawawi dengan bukunya Minhaj At-Thalibin (Jalan Bagi Para Siswa).
(4) Ahli Tarjih, yaitu orang-orang dengan ilmu pengetahuan yang ada padanya dapat membanding-bandingkan mana yang lebih “kuat” pendapat-pendapat yang ada, serta member penjelasan atau komentar atas pendapat yang berbeda yang dikemukakan oleh para mujtahid tersebut diatas. Untuk mujtahid peringkat keempat ini kadang-kadang dipergunakan istilah muqollid kalau ia hanya megikuti saja pendapat para mujtahid lainnya dengan taklid.
Contoh dapat disebutkan Ibnu Hajar Hitami dengan kitabnya Tuhfah (hadiah).
Di Indonesia sekarang ini, dikalangan NU dan Muhammadiah ada lembaga khusus yang mengembangkan hukum islam. Pada organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah, misalnya ada lembaga khusus yang melakukan Tajdid (pembaruan), namanya Majls Tarjih yang bertugas merajih (membanding-bandingkan) berbagai pendapat yang ada yang lebih sesuai dengan al-Qur’an dan As-Sunnah untuk dijadikan pegangan para anggotanya. Namun, untuk pendapat yang belum ada sebelumnya, majlis ini langsung menarik garis hukumnya dari Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits yang sahih. Dikalangan NU ada lembaga serupa namanya Bahsul Masa’il.
Banyak factor yang memungkinkan pembinaan dan pengembangan hukum islam pada periode ini. Diantara faktor-faktor yang mendorong orang menetapkan hukun dan merumuskan garis-garis hukum adalah:
a. Wilayah islam sudah sangat luas, terbentang dari perbatasan India-Tiongkok di Timur sampai ke Spanyol (Eropa) di sebelah Barat. Didalam wilayah yang sangat luas itu tinggal berbagai suku bangsa dengan asal-usul, adat istiadat, sejarah hidup dan kepentingan-kepentigan yang berbeda. Untuk dapat menyatukan mereka semua didalam satu pola kehidupan hukum, diperlukan pedoman yang jelas yang mengatur tingkah laku mereka dalam berbagai bidang hidup dan kehidupan. Ini mendorong para ahli hukum untuk mengkaji dan mempelaari sumber-sumber hukum islam untuk ditark garis-garis hukum dari dalamnya, menentukan kaidah atau norma bagi suatu perbuatan tertentu guna memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat.
b. Telah ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat dipergunakan sebagai bahan dan landasan untuk membangun serta mengenbangkan hukum fiqih islam.
c. Telah tersedia para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah hukum dalam masyarakat.

Dalam periode ini timbul para mujtahid. Dalam jumlah banyak, tetapi kini yang masih mempunyai pengikut adalah empat, yakni:
1. Abu Hanifah (Al-Nukman ibn Tsabit):700-767 M.
2. Malik bin Anas : 713-795M.
3. Muhammad Idris As-Syafi’i: 767-820 M.
4. Ahmad bin Hambal (Hanbal): 781-855 M.

BAB II
TARIKH TASYRI’ PADA MASA 4 MAZDAB
I.I Imam Abu Hanifah(Al-Nukman ibn Tsabit) Imam Hanafi:700-767 M.
A. Biografi .
Beliau bernama lengkap Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit Ibn Zutha al-Taimy. Lahir dii Kufah tahun 80 H/699 M dan wafat di Baghdad tahun 150 H/767 M.
Abu Hanifah menekuni ilmu fiqh di Kufah yang pada waktu merupakan pertemuan para ulama fiqh yang cenderung rasionalis. Setelah itu Abu Hanifah beberapa kali pergi ke Hijaz untuk mendalami fiqh dan hadits sebagai nilai tambah dari apa yang ia peroleh di Kufah. Sepeninggal Hammad, majlis Madrasah Kufah sepakat mengangkat Abu Hanifah sebagai kepala Madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqh. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran madzhab hanafi yang dikenal sekarang ini.
Ia menjalani masa hidup di dua lingkungan sosio politik, yakni 52 tahun di masa akhir dinasti Umaiyah dan 18 tahun pada masa awal dinasti Abbasiyah. Alih kekuasaan dari Umaiyah yang runtuh kepada Abbasiyah yang naik tahta, terjadi di Kufah sebagai ibu kota Abasiyah sebelum pindah ke Baghdad.
Dari perjalanan hidupnya itu, ia sempat menyaksikan tragedi-tragedi besar di Kufah. Di satu segi, kota Kufah memberi makna dalam kehidupannya sehingga menjadi salah seorang imam besar. Di sisi lain ia merasakan kota Kufah sebagai kota teror yang diwarnai pertentangan politik.
B. Landasan dalam Mengistinbathkan hukum.
Dalam penetapan hukumnya, madzhab Hanafi ini berdasarkan pada Nash al-Qur'an dan Hadits, Ijma’, Qiyas dan Istihsan.
Sedangkan metode Istidlal Imam Abu Hanifah dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri, “sesungguhnya saya mengambil kitab suci Quran dalam menetapkan hukum, apabila tidak didapatkan dalam al-Quran, maka saya mengambil Sunnah Rasulullah SAW yang shahih dan tersiar di kalangan orang-orang terpercaya. Apabila saya tidak menemukan dari keduanya, maka saya mengambil pendapat orang-orang terpercaya yang saya kehendaki, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka. Apabila urusan itu sampai kepada Ibrahim al-Sya’bi, Hasan ibn Sirin dan Sa’id ibn Musayyab, maka saya berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.
Berdasarkan keterangan tersebut, nampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam beristidlal atau menetapkan hukum syara’ yang tidak dietapkan dalalahnya secara qath’iy dari al-Quran atau dari hadits yang diragukan kesahihannya karena Kufah terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat tinggal Rasul Saw. Ia selalu menggunakan ra’yu dan sangat selektif dalam menerima hadits. Ulama Madinah banyak memakai sunnah dalam menyelesaikan problema-problema yang muncul dalam masyarakat. Sedangkan di Kufah sunnah hanya sedikit yang diketahui disamping banyak terjadi pemalsuan hadits. Maka untuk menyelesaikan masalah yang aktual pada masa itu, beliau banyak menggunakan ra’yu.
C. Perkembangan Madzhab Hanafi.
Abu Hanifah meninggalkan tiga karya besar yaitu: fiqh akbar, al-alim wa al-muta’lim dan musnad fiqh akbar tetapi belum dikodifikasikan. Di samping itu Ia mendirikan membentuk badan yang terdiri dari tokoh-tokoh cendekiawan yang ia sendiri sebagai ketuanya. Badan ini berfungsi memusyawarahkan dan menetapkan ajaran Islam dalam berbagai bentuk tulisan dan mengalihkan syariat Islam ke dalam undang-undang.
Kemudian murid-murid Abu Hanifah yang berjasa di Madrasah Kufah dan membukukan fatwa-fatwanya sehingga dikenal di dunia Islam antara lain ialah:
a. Abu Yusuf Ya’cub ibn Ibrahim al-Anshary.
b. Muhammad ibn Hasan al-Syaibany.
c. Zufar ibn Huzail ibn al-Kufy.
d. Al-Hasan ibn Ziyad al-lu’lu’iy.
Dari keempat murid tersebut yang yang banyak menyusun buah pikiran Abu Hanifah adalah Muhammad al-Syaibani yang terkenal dengan al-kutub al sittah (enam kitab), yaitu:
1. Kitab al-Mabsuth
2. Kitab al-Ziyadat.
3. Kitab al-Jami’ as-Shagir.
4. Kitab Jami’ al-Kabir.
5. Kitab al-Sair al-Shagir.
6. Kitab al-Sair al-Kabir.
Para pengikutnya tersebar di berbagai negara seperti Irak, Turki, Asia Tengah, Pakistan, India, Tunis, Turkistan, Syria, Mesir dan Libanon. Madzhab hanafi pada masa khilafah bani Abbas merupakan madzhab yang banyak dianut oleh umat Islam dan pada pemerintahan kerajaan Utsmani, madzhab ini merupakan madzhab resmi negara.
C. Contoh Fiqh yang ada dalam madzhab Hanafi.
Dalam kasus batal atau tidaknya orang yang makan atau minum di siang hari ketika sedang berpuasa karena lupa. Dalam menetapkan hukum atas permasalahan ini Imam hanafi menggunakan Istihsan dengan nash (berpalingnya mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh kaidah umum kepada hukum yang dikehendaki oleh nash). Menurut qiyas (dalam arti kaidah umum) merusak atau membatalkan puasa karena telah cacat dan menghilangkan rukunnya. Dan sesuatu yang telah hilang rukunnya berarti batal. Akan tetapi pada makan di siang hari pada bulan ramadhan karena lupa dilakukan pemalingan dari hukum batalnya puasa yang dikehendaki oleh kaidah umum kepada hukum yang dikehendaki oleh nash. Berdasarkan sabda Nabi SAW dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “orang berpuasa yang makan atau minum karena lupa, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena Allahlah yang telah memberinya makan dan minum”. Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang makan atau minum karena lupa tidak membatalkan puasanya. Sehingga menurut Hanafi, hukum yang dikehendaki oleh hadits inilah yang ditetapkan terhadap masalah tersebut, bukan hukum yang dikehendaki oleh kaidah umum.
II.II Malik bin Anas (Imam Maliki) 713-795M
A. Biografi .
Lahir di kota Madinah, tahun 93 H/12 M dan wafat pada tahun 179 H/798 M di Madinah pada masa pemerintahan Abasiyah di bawah kekuasaan Harun al-Rasyid. Bernama lengkap Abu Abdillah Malik ibn Malik ibn Abu Amir ibn al-Harits.
Beliau terdidik di kota Madinah pada masa kekuasaan Sulaiman ibn Abd Malik dari Bani Umayyah VII. Pada waktu itu di kota tersebut hidup beberapa golongan pendukung Islam, antara lain: golongan sahabat Anshar dan Muhajirin serta para cerdik pandai ahli hukum Islam. Pelajaran pertama yang diterimanya adalah al-Quran, yakni bagaimana cara membaca, memahami makna dan tafsirnya. Dihafalnya al-Quran itu diluar kepalanya’ Kemudian ia mempelajari hadits Nabi SAW dengan tekun dan rajin sehingga mendapat julukan sebagai ahli hadits.
Sedangkan guru yang pertama dan bergaul lama serta erat adalah Imam Abd. Rahman ibn Hurmuz salah seorang ulama besar di Madinah. Kemudian belajar fiqh kepada Rabi’ah ql-Ra’yi (ulama besar Madinah ketika itu). Selanjutnya belajar ilmu hadits kepada Imam Nafi’ Maula Ibn Umar dan juga kepada Imam ibn Syihab az-Zuhry. Menurut riwayat yang lain, bahwa diantara para guru Imam Malik yang utama itu tidak kurang dari 700 orang. Di antara sekian banyak gurunya itu, terdapat 300 yang tergolong ulama tabi’in.
Dalam hidupnya, Imam Malik selaku seorang mufti yang dipercaya oleh umat pada masa itu sering menghadapi kekejaman dan keganasan fisik yang berat dari penguasa, karena beliau tetap mempertahankan pendapatnya tentang masalah “paksaan talak itu tidak sah”. Beliau tetap tidak mencabut fatwanya yang bertentangan dengan khalifah al-Manshur dari Bani Abbas di Baghdad, maka beliau disiksa dan dihukum penjara. Imam Malik sangat teguh dalam membela kebenaran dan berani menyampaikan apa yang diyakininya.
B. Landasan dalam Mengistinbathkan hukum.
Beliau adalah seorang tokoh yang dikenal para ulama sebagai alim besar dalam ilmu hadits sehingga para ulama menyebutnya ahlu hadits.
Sedangkan dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang kepada:
1. Al-Quran.
Imam Malik dalam memegang al-Quran ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir nash al-Quran atau keumumannya, meliputi mafhum al-mukhalafah dan mafhum al-aula dengan memperhatikan illatnya.
2. Sunnah.
Beliau dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada al-Quran. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan penta’wilan ialah arti ta’wil tersebut.
3. Amal Ahl Madinah.
Menurutnya, Amal penduduk Madinah (sampai pada masa khalifah Utsman ibn Affan) didahulukan apabila terjadi kontradiksi dengan hadits ahad, karena jika hadits itu Cuma hadits ahad maka lebih rendah kedudukannya, karena amal penduduk madinah statusnya sama dengan hadits mutawatir, dan tidak mungkin orang madinah yang begitu banyak dan rata-rata mereka masuk dalam kategori sebagai sahabat melakukan kebohongan secara bersama-sama.
4. Fatwa Sahabat.
Meliputi pendapat dari para sahabat tentang sesuatu kasus yang dinukil para ulama, baik yang berupa fatwa maupun yang berupa ketetapan hukum. Sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum dari permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat tersebut. Hal itu bisa dimaklumi karena belum ada hukum yang membahasnya atau ijma’ dari para sahabat yang meenetapkan hukum tersebut.
5. Khobar Ahad dan Qiyas.
Beliau tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang dikenal oleh masyarakat Madinah, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil yang qath’i. Terkadang ia mendahulukan qiyas daripada khabar ahad. Apabila khabar ahad tersebut tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal tersebut dianggap petunjuk bahwa khabar ahad tersebut tidak benar datangnya dari Rasulullah SAW. Dengan demikian Imam Malik tidak menggunakan khabar ahad sebagai dasar hukum tetapi menggantinya dengan qiyas dan mashlalah.
6. Al-Istihsan.
Menurutnya, istihsan adalah: “menurut hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kulli (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-mursal daripada qiyas, sebab menggunakan istihsan itu, tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan”.
7. Al-Mashlahah al-Mursalah.
Yaitu mashlahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash, dengan dmikian, maka maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syariat diturunkan.
8. Sad uz Zari’ah.
Menggunakan Sad’uz Zari’ah sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, huukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.
9. Istishhab.
Beliau menjadikan istihhab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Ishtishhab menurutnya adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang diyakini tersebut, hukumnya tetap seperti hukum pertama.
C. Perkembangan Fiqh Maliki.
Beberapa karya-karya Imam Malik adalah kitab al-Muwatha’ (144 H) atas anjuran khalifah Ja’far al-Manshur. Kitab al-Muwatha’ mengandung dua aspek yaitu aspek hadits dan aspek fiqh.
Dan kitab lainnya adalah al-Mudawamah al-Kubra yang merupakan kumpulan risalah yang memuat tidak kurang dari 1.036 masalah dari fatwa Imam Malik. Kitab ini disusun oleh Asad ibn al-Furat al-Naisabury. Beliau adalah salah satu murid dari Imam Malik.
Madhzab ini pada mulanya timbul dan berkembang di kota Madinah, tempat kediaman beliau dan kemudian tersiar ke negeri Hijaz. Perkembangan madzhab Maliki sempat surut di Mesir, karena pada masa itu berkembang pula madzhab Syafi’i dan sebagian penduduknya telah mengikuti madzhab Syafi’i, tetapi pada zaman pemerintahan Ayyubiyah, Madzhab Maliki kembali hidup. Demikian juga di Andalusia, di masa pemerintahan Hisyam ibn Abd Rahmany, para ulama yang mendapatkan kedudukan tinggi menjabat sebagai hakim negara, adalah mereka yang menganut madzhab Maliki, sehingga Madzhab ini bertambah subur dan berkembang pesat.
beberapa murid Imam Malik yang berjasa mengembangkan madzhabnya antara lain, Utsman ibn al-Hakam al-Juzami, Abd Rahman ibn Khalid ibn Yazid ibn Yahya, Abd Rahman ibn al-Qasim, Asyhab ibn Abd Aziz, Ibn Abd al-hakam, Haris ibn Miskin dan lain-lain.
Madzhab Maliki sampai sekarang masih diikuti sebagian kaum muslimin di Maroko, Algers, Tunisia, Lybia dan Mesir. Masih tersiar juga juga di Irak, Palestina, Hijaz dan lain-lainnya di sekitar Jazirah Arabia.
D. Contoh Fiqh yang ada dalam Madzhab.
Contohnya yaitu maslahah mursalah, yaitu pembolehan membaiat seorang khalifah yang statusnya mafdhul di masyarakat (bukan yang terbaik). Penolakan akan baiat dikhawatirkan berakibat timbulnya kemudharatan, kerusakan kegoncangan serta kekosongan pemerintah. Imam Malik mendasarkannya pada kebijaksanaan Umar ibn Abd Aziz yang menyerahkan tampuk pimpinan kepada Yazid ibn Abd Malik, tidak kepada orang yang saleh dan layak menduduki jabatan itu karena dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah dan pertumpahan darah.
II.III Muhammad Idris As-Syafi’i: (Imam Syafi’i) 767-820 M.
A. Biografi Singkat.
Imam Syafi’i dilahirkan di Gazah (150 H/ 767 M) dan wafat di Mesir (204 H/ 819 M). Ia mempelajari Quran pada Islmail ibn Qastantin (qari’ di kota Mekah). Kemudian ia mempelajari hadits dari Imam Malik di Madinah. Sebelumnya ia pernah belajar hadits kepada Sufyan ibn Uyainah salah seorang ahli hadits di Mekah.
Tahun 195 H, Imam Syafi’i pergi ke Baghdad dan menetap di sana selama 2 tahun. Setelah itu kembali ke Mekah. Pada tahun 198 H ia kembali lagi ke Baghdad dan menetap di sana beberapa bulan, kemudian pergi ke Mesir dan menetap di sana sampai wafatnya.
5. Pengalaman dan pengetahuan Imam Syafi’i tentang masalah kemasyarakatan sangat luas. Ia menyaksikan langsung kehidupan masyarakat desa dan menyaksikan juga kehidupan masyarakat yang sudah maju peradabannya pada tingkat awal di Irak dan Yaman. Juga menyaksikan kehidupan masyarakat yang sudah sangat kompleks peradabannya seperti yang ada di Irak dan Mesir. Pengetahuan Imam Syafi’i dalam bidang kehidupan ekonomi dan kemasyarakatan yang bermacam-macam itu, memberikan bekal baginya dalam ijtihadnya pada masalah-masalah hukum yang beraneka ragam. Ia belajar hukum fiqih islam dari para mujtahid mazhab Hanafi dan Malik bin Anas. Karena itu pula ia mengenal baik keduua aliran hukum itu baik tentang sumber hukum atau metode yang mereka gunakan dan dapat menyatukan kedua aliran itu serta merumuskan sumber-sumber hukum (fiqih) Islam (baru).
Dalam kepustakaan hukum islam ia disebut sebagai master architect (arsitek agung) sumber-sumber hukum (fiqih) islam karena ia lah ahli hukum islam pertama yang menyusun ilmu usl al-fiqh (usul fiqih) yakni ilmu tentang sumber-sumber hukum fiqih Islam dalam bukunya yang terkenal ar-Risalah Al-Qur’an, Sunah , Ijmak dan Qiyas. Syafi,I banyak menulis buku, diantaranya yang terkenal adalah al-Umm (Induk) dan Ar-Risalah tersebut di atas. Ia terkenal pula mempunyai dua pendapat mengenai masalah yang sama atau hampir bersamaan yang di keluarkannya di dua tempat yang berbeda karena perbedaan waktu, situasi dan kondisi. Pendapat yang dikemukakanya ketika ia berada di Baghdad (Irak) terkenal dengan nama qaul qadim (pendapat lama), dan pendapat yang dikeluarkanya di Kairo (Mesir) di tempat ia meninggal dunia dikenal dengan pendapat baru (qaul jaddid). Disini kelihatan bahwa factor waktu dan tempat mempengaruhi pemikiran dan hasil pemikiran hukum, walaupun sumbernya adalah sama.
Mazhab Syafi’I sekarang diikuti di Mesir, Palestina, (juga hukumnya adalah di beberapa tempat di Syiria dan Libanon, Irak, dan India), Muangthai, Filipina, Malaysia dan Indonesia. Sumbernya adalah Alquran, Sunah, Ijmak, Qiyas dan Istishab, yaitu penerusan berlakunya ketentuan hukum yang telah ada, Karena tidak terlihat adanya dalil yang mengubah ketentuan hukum tersebut.

B. Landasan dalam Mengistinbathkan hukum.
Dalam mengistinbathkan hukum, beliau berpijak kepada:
1. Al-Quran dan Sunnah.
Beliau memandang Quran dan Sunnah berada pada satu martabat. Karena menurut beliau, Sunnah itu menjelaskan al-Quran, kecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan hadits mutawatir. Di samping itu karena al-Quran dan Sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan Sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti al-Quran.
2. Ijma’.
Beliau mengatakan ijma’ adalah hujjah dan ia menempatkan ijma’ ini sesudah al-Quran dan Sunnah sebelum qiyas. Imam Syafi’i menerima ijma’ sebagai hujjah dalam masalah-masalah yang tidak diterangkan dalam Quran dan Sunnah. Imam Syafi’i juga mengakui bahwa Ijma’ sahabat merupakan ijma’ yang paling kuat.
3. Qiyas.
Beliau ialah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya. Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun belum membuat rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya sehingga sulit diketahui mana ijtihad yang benar dan mana yang keliru.
Dalam penggunaan istihsan yang disalahgunakan oleh murid-murid Abu Hanifah, Imam Syafi’i jelas-jelas menolaknya. Dalam kitab al-Umm, dengan panjang lebar ia menguraikan pendapatnya atas masalah tersebut yang garis besarnya adalah bahwa istihsan sarat dengan hawa nafsu. Dan jika seseorang diperbolehkan menggunakan istihsan dalam agama, maka setiap orang akan mmbuat syari’at sendiri, karena itu Imam Syafi’i mengatakan: “Barangsiapa menggunakan istihsan sebagai dasar hukum, maka berarti ia telah mmbuat syara’.
C. Perkembangan Madzhab Syafi’i..
Beliau mempunyai pandangan yang dikenal dengan qaul al-qadim dan qaul al-jadid. Qaul qadim terdapat dalam kitabnya yang bernama al-Hujjah yang dicetuskan di Irak. Qaul jadidnya terdapat dalam kitabnya yang bernama al-Umm yang dicetuskan di Mesir. Adanya dua pandangan hasil ijtihad itu, maka diperkirakan bahwa situasi tempat pun turut mempengaruhi Ijtihad Imam Syafi’i. Keadaan di Irak dan di Mesir memang berbeda, sehingga membawa pengaruh terhadap pendapat-pendapat dan ijtihad Imam Syafi’i.
Para ahli sejarah membagi kitab hasil karya Imam Syafi’i menjadi dua:
1. Kitab yang ditulis oleh Imam Syafi’i sendiri. Seperti al-Umm (berisi masalah-masalah fiqh) dan kitab ar-Risalah (tentang ushul fiqh), dan kitab-kitab Imam Syafi’i lainnya.
2. Kitab yang ditulis oleh murid-muridnya, seperti Mukhtasar oleh al-Muzany dan Mukhtasar oleh al-Buwaithy, maupun kitab yang didektekan kepada murid-muridnya yaitu Harmalah.
Banyak kitab-kitab Imam Syafi’i yang dikembangkan para muridnya yang tersebar di Mekah, Irak, mesir dan lain-lainnya. Imam Syafi’i ketika datang ke Mesir, pada umumnya kala itu penduduk Mesir mengikuti madzhab Hanafi fan Madzhab Maliki. Kemudian setelah membukukan kitabnya (qaul jadid), maka mulai berkembanglah pemikiran madzhabnya di Mesir. Adapun para ulama terkenal yang menjadi murid-murid beliau ialah Muhammad ibn Abdullah ibn Abd al-Ahkam, Ismail ibn Yahya, al-Buwaithiy, al-Rabi’, al-Jiziy, Asyhab ibn al-Qasim dan ibn Mawaz.
Madzhab syafi’i ini menyebar dan berkembang antara lain di Irak, lalu berkembang dan tersiar ke khurasan, Pakistan, Yaman, Persia, Hijaz, India, daerah-daerah Afrika dan Andalusia (sesudah 300 H) dan Asia tenggara.
D. Contoh Fiqh yang ada Dalam Madzhab Syafi’i.
Seperti masalah pembagian harta pusaka terhadap nenek. Karena tidak ada nash yang jelas yang mengatur masalah ini (hanya diisyaratkan secara zhanny pada sebuah hadits ahad). Maka Imam Syafi’i menyandarkannya kepada ijma’ para sahabat yang menetapkan bahwa nenek baik jika nenek itu sendirian maupun lebih dari seorang maka ia tetap mendapatkan waris sebanyak seperenam.

II.IV Imam Ahmad Ibn Hambal (Imam Hambali) 781-855 M.

A. Biografi .
Beliau lahir di Baghdad (164 H/780 M). Ia belajar ilmu fiqh pada Abu Yusuf (salah seorang murid Abu Hanifah). Kemudian belajar hadits kepada beberapa ahli hadits terkenal yaitu Sufyan ibn Uyainah, Ibrahim ibn Sa’ad dan Yahya ibn Qathan. Beliau juga sempat mempelajari fiqh kepada Imam Syafi’i.
6. Beliau pernah mengalami mihnah yang berkenaan dengan kemakhlukan al-Quran. Diriwayatkan bertalian dengan mihnah ini, bahwa khalifah al-Mu’tashim pernah memanggilnya untuk ditanya tentang apakah al-Quran itu makhluk atau bukan, ia tidak menjawab bahwa al-Quran itu makhluk sebagaimana yang dikehendaki oleh al-Mu’tashim, sehingga ia dipukul hingga pingsan dan dipenjarakan. Beliau baru dibebaskan pada masa kekhalifahan al-Mutawakil. Ahmad bin Hambal (Hanbal): 781-855 M.
Ia belajar hukum dari beberapa ahli, termasuk Syafi’I di beberapa tempat. Selain ahli hukum ia ahli pula tentang hadist nabi. Berdasarkan keahliannya itu, sepertihalnya dengan Malik bin Anas, ia menyusun kitab hadist terkenal bernama al Musnad atau (kadang-kadang di tulis ) al-masnad. Pendapat Ahmad bin Hambal ini menjadi pendapat resmi atau (Negara) di Saudi Arabia sekarang. Dibandingkan dengan aliran hukum tersebut diatas mazhab Hambali ini yang paling sedikit penganutnya. Sumber hukumnya adalah sama dengan Syafi’I dengan menekankan atau mmengutamakan Alquran dan Sunah
Keempat pendiri mazhab yang disebut ‘imam’ ini menyatakan bahwa sumber sumber (pengambilan)hukum mereka adalah al Quran dan as Sunah nabi. Karena itu pula mereka menganjurkan agar para ahli yang datang kemudian, mengambil hukum dari sumber yang sama yaitu alQurqn dan Sunah. Sementara itu mereka menemukan cara atau metode pembentukan hukum melalui Ijmak dan Qiyas yang kemudian di akui dan dinyatakan oleh Syafi,I sebagai sumber hukum ketiga dan keempat. Dan sebagai pendapat manusia, hasil ijmak dan Qiyas ini tidak terhindar dari kemungkinan salah, karena itu tiidak dapat di anggap sebagai pendapat yang final dan mutlak yang tidak mungkin berubah atau diubah lagi.

B. Landasan dalam Mengistinbathkan hukum.
Adapun metode istidlal Imam Ahmad bin Hambal dalam menetapkan hukum adalah:
1. Dalil al-Quran dan Sunnah yang Shahih.
Jika beliau telah mendapati suatu nash dari al-Quran dan dari Sunnah rasul yang shahih, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan dalil tersebut.
2. Pendapat para sahabat Nabi SAW.
Jika ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari al-Quran maupun dari hadits shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan.
3. Pendapat sahabat-sahabat Rasul yang muncul dalam perselisihan di antara mereka dan diambilnya yang lebih dekat kepada bash al-Quran dan Sunnah. Apabila ia tidak menemukan fatwa para sahabat yang disepakati sesama mereka, maka beliau menetapkan hukum dengan cara memilih dari fatwa-fatwa mereka yang ia pandang lebih dekat kepada al-Quran dan Sunnah.
4. Penggunaan Hadits Mursal dan Hadits Dha’if.
Jika Imam Ahmad tidak mendapatkan dari al-Quran dan Sunnah yang shahihah serta fatwa-fatwa sahabat yang disepakati atau diperselisihkan, maka beliau menetapkan hadits mursal dan hadits dha’if. Yang dimaksud dengan hadits dha’if oleh Imam Ahmad adalah karena ia membagi hadits dalam dua kelompok: shahih dan dha’if; bukan kepada: shahih, hasan dan dha’if seperti kebanyakan ulama yang lain.
5. Qiyas.
Imam Ahmad juga menggunakan Qiyas dalam menetapkan hukum apabila dalil-dalil yang dicari tidak terdapat dalam semua point di atas


6. Mashlahah al-Mursalah.
Terkadang Imam Ahmad juga menggunakan maslahah al-mursalah, terutama dalam bidang siyasah.
C. Perkembangan Madzhab Maliki.
Imam Ahmad pada dasarnya tidak menulis kitab fiqh secara khusus, karena semua masalah fiqh yang dikaitkan dengannya sebenarnya berasal dari fatwanya sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang pernah ditanyakan kepadanya. Sedangkan yang menyusunnya sehingga menjadi sebuah kitab fiqh adalah para pengikutnya. Fiqh Ahmad ibn Hambal dapat dipastikan sangat diwarnai oleh hadits.
Kitab-kitab yang disusun oleh beliau adalah kitab al-Musnad (musnad Ahmad), Kitab Tafsir al-Quran, Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh, Kitab Manasiku al-Kabir, Manasiku as-Shagir, Kitab al-Illah, Kitab as-Shalah dan lain-lain.
Para ulama besar yang pernah belajar dengan beliau adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibn Abi ad-Dunya dan Ahmad ibn Abi Hawarimy. Adapun para murid yang meneruskan madzhabnya adalah al-Atsram Abu bakar Ahmad ibn Haniy al-Khurasany, Ahmad ibn Hajjaj al-Marwaniy, Ibn Ishaq al-Harbiy dan ulama-ulama lain yang belajar fiqh kepada beliau terutama dalam bidang mu’amalah.
Penganut madzhab ini tidak begitu banyak dan tersebar di Jazirah Arab, Palestina, Syiria, Irak dan bagi pemerintah Arab Saudi, menetapkan madzhab Hambali sebagai madzhab resmi negara.
D. Contoh Fiqh yang ada Dalam Madzhab Hambali.
Walaupun banyak mendasarkan penetapan-penetapan fiqhnya kepada hadits, tetapi terkadang Imam Ahmad juga menggunakan mashlahah al-mursalah. Yaitu menghukumi Ta’zir kepada orang yang sering membuat kerusakan.

BAB III
KESIMPULAN ATAU PENUTUP
Banyak factor yang memungkinkan pembinaan dan pengembangan hukum islam pada periode ini. Diantara faktor-faktor yang mendorong orang menetapkan hukun dan merumuskan garis-garis hukum adalah:
d. Wilayah islam sudah sangat luas, terbentang dari perbatasan India-Tiongkok di Timur sampai ke Spanyol (Eropa) di sebelah Barat. Didalam wilayah yang sangat luas itu tinggal berbagai suku bangsa dengan asal-usul, adat istiadat, sejarah hidup dan kepentingan-kepentigan yang berbeda. Untuk dapat menyatukan mereka semua didalam satu pola kehidupan hukum, diperlukan pedoman yang jelas yang mengatur tingkah laku mereka dalam berbagai bidang hidup dan kehidupan. Ini mendorong para ahli hukum untuk mengkaji dan mempelaari sumber-sumber hukum islam untuk ditark garis-garis hukum dari dalamnya, menentukan kaidah atau norma bagi suatu perbuatan tertentu guna memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat.
e. Telah ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat dipergunakan sebagai bahan dan landasan untuk membangun serta mengenbangkan hukum fiqih islam.
f. Telah tersedia para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah hukum dalam masyarakat.

Dalam periode ini timbul para mujtahid. Dalam jumlah banyak, tetapi kini yang masih mempunyai pengikut adalah empat, yakni:
7. Abu Hanifah (Al-Nukman ibn Tsabit):700-767 M.
8. Malik bin Anas : 713-795M.
9. Muhammad Idris As-Syafi’i: 767-820 M.
10. Ahmad bin Hambal (Hanbal): 781-855 M.

3 Response to "TARIKH TASYRI' PADA MASA IMAM MADZHAB"

  1. Jejak pemimpi says:
    10 April 2016 pukul 22.24

    siip bagus ini .. izin copas

  2. Khairul abdi arga says:
    29 September 2016 pukul 06.16

    kalau boleh tau, referensinya dari mana ya pak!

  3. Faisal says:
    31 Oktober 2016 pukul 13.48

    referansinya dari mana ya??

Posting Komentar